#1 Huru-Hara Kampanye

Muhammad Faizarha
5 min readJan 8, 2024

--

Keresahan beberapa bulan terakhir yang cukup bikin sebel tiap buka medsos

Selasa, 8 Januari 2024

Sudah 40 hari masa kampanye Pemilu 2024 berlangsung. Sudah 3 debat capres-cawapres yang terlaksana oleh KPU. Suasana pemilu pun sangat terasa. Dimana-mana banyak baliho, spanduk, kaos partai, dan alat-alat peraga kampanye lainnya. Obrolan dimana-mana pun sangat berbau politik, mulai dari teman kantor, teman tongkrongan, bahkan obrolan sama mang2 gojek atau mang2 warung pun berbau politik akhir-akhir ini.

Huru-hara ini pun sangat terasa di medsos. Timeline saya pun yang biasanya penuh dengan hal2 receh sekarang jadi full dengan pembahasan politik. Pembahasannya pun beragam, mulai dari yang berat-berat seperti ide dan gagasan, hal-hal ringan seperti meme2 kocak, atau maki2 an tidak jelas dari netijen2 keyboard warrior. Teman-teman saya yang biasanya bahas hal-hal ringan pun sekarang semua jadi bahas politik

Situasi yang sangat wajar sebenarnya, tapi ada sesuatu yang membuat saya resah terkait huru-hara ini

Narasi baik dan buruk dalam pilihan politik

Narasi yang sering digunakan oleh para timses untuk menggaet pemilih, narasi yang sering ‘dimakan’ oleh para pemilih, dan narasi yang membuat saya kesal karena menimbulkan permusuhan dan perpecahan di antara kita

Seperti sebuah quote ternama dari dunia sales & marketing,

People buy on emotion and justify by logic”,

Tidak ada keputusan yang 100% logis karena emosi kita yang mendominasi dalam membuat sebuah keputusan. Logika kita hanya membuat keputusan yang kita buat secara emosional itu terasa benar dan logis. Hal ini juga disadari oleh para timses capres dan cawapres sehingga mereka memutuskan untuk menggaet suara kita secara emosional daripada secara logika.

Narasi yang digunakan untuk menggaet suara kita secara emosional bisa lewat kebanggaan berlebihan atas pencapaian seorang capres, fearmongering bahwa capres lain itu adalah sumber dari kejahatan, atau lewat hal-hal jenaka seperti meme, roasting, dan sejenisnya.

Saya berani taruhan, 99% orang yang sudah punya pilihan itu karena narasi emosional yang dibawa oleh timses, bukan berdasarkan visi-misi, program kerja, atau hal-hal logis nan membosankan itu. Buat yang bilang engga, coba sebutin apa program kerja dan visi-misi capres-cawapres yang anda pilih tanpa googling dulu, hehe :)

Salah satu narasi emosional yang dibawa oleh timses ini adalah narasi “kebaikan vs kejahatan”. Narasi yang sangat wajar untuk dibawa, karena sudah banyak dipakai di ribuan karya fiksi yang ada di dunia ini. Autobot vs Decepticon, Thanos vs Avengers, Superman vs Lex Luthor, dll. Sudah naluri kita untuk dekat dengan kebaikan dan melawan kejahatan. Hitam vs Putih, as simple as that.

Narasi ini sudah banyak memakan korban dari orang-orang yang saya kenal. Banyak sekali postingan teman-teman saya di medsos yang mengesankan bahwa pilihan mereka adalah “pilihan yang baik” dan pilihan di seberang adalah “pilihan yang buruk”. Sesuatu yang saya kira bisa diminimalisir kalau paslonnya ada 3, eh ternyata tetep ada juga. Narasi #AsalBukanPrabowo cukup dominan di timeline saya yang penuh dengan pendukung Anies. Bahkan ada yang mengecap kalau milih Prabowo itu jahat, bodoh, kejam, dan cap-cap negatif lainnya. Kesannya lebih baik hidup jadi kecoak daripada milih Prabowo menurut para pendukung Anies ini. Narasi para pendukung Anies jg lebaynya setengah mampus. Kesannya Anies itu pemimpin suci dari tanah kahyangan yang turun ke dunia untuk memperbaiki Indonesia yang penuh dengan kekacauan akibat kekejaman “Fuhrer” Joko Widodo

Dari sisi Prabowo juga sama saja, mereka bawa-bawa narasi kalau memilih Anies derajatnya sama dengan memilih Osama bin Laden yang bisa membawa Indonesia menjadi Indonistan. Indonesia akan jadi negara intoleran yang penuh dengan militan ala2 ISIS kalau Anies menang menurut para pemilih Prabowo ini. Narasi untuk mendukung Prabowo juga lebaynya setengah mampus. Kesannya Prabowo itu adalah penerus dari tugas suci Bapak Yang Mulia Joko Widodo yang telah membangun Indonesia dari tanah menjadi megah seperti sekarang.

To be honest, both of those narration are shit

Jujur aja, baca tweet2 dari pendukung Anies dan Prabowo itu membuat saya ingin di 2025, Anies sama Prabowo duduk bareng dalam satu koalisi sehingga mereka bisa lihat bahwa seluruh narasi ‘baik dan buruk’ yang dibawa oleh timses itu bullshit. Ga ada calon yang 100% baik, dan ga ada calon yang 100% buruk, yang ada hanya “calon” yang punya sisi baik dan sisi buruk

Doakan kalau 01 atau 02 menang, nanti pas 2025 mereka dalam satu koalisi biar meme ini kepake hahaha

Setiap calon punya sisi baik dan buruknya masing-masing. Tinggal sesuaikan saja dengan preferensi masing-masing maunya kayak gimana. Ada benefit dan resiko yang diambil saat memilih capres di Pemilu 2024 nanti. Pada lupa kali yak di 5 tahun yang lalu, para pendukung Jokowi dan Prabowo gontok-gontokan di sosmed, bilang calon yang mereka dukung itu “orang baik” dan lawan mereka itu “orang jahat”. Eh tiba-tiba mereka duduk bareng dalam satu kabinet. Hayo, “orang baik” yang kalian puja-puja duduk bareng sama “orang jahat” yang kalian hina-hina hahaha

Saya doakan nanti pas 2025, adegan ini terulang lagi dengan Anies dan Prabowo HAHAHAHA

Ayolah, udah 2024 ini, masa narasi usang yang udah kebukti gagal pas 2019 masih dibawa lagi

Saya ga ngajak untuk golput. Silahkan pilih capres-cawapres sesuai preferensi masing-masing. Cuma please, ga usah ngata2 in capres pilihan orang sebagai capres yang jahat atau buruk, atau sebaliknya, ga usah lebay nganggep capres dukungan kalian sendiri itu capres yang baik dan tanpa dosa. Ayo lah adu gagasan, bukan adu baik-buruk yang ga jelas itu

Sekian tulisan panjang-semi-rant dari saya. Selamat berpesta demokrasi di 14 Februari 2024 nanti dan ingat, siapapun yang menang, hidup mah gini-gini aja, kecuali anda konglomerat yang punya deal-dealan proyek sama salah satu capres, hehe

P.S: Sori Ganjar ga kebahas, pendukungnya terlalu chill AF sepertinya, tapi saya doakan juga entar pas 2025, Ganjar bisa sekabinet juga bareng Anies dan Prabowo

--

--

Muhammad Faizarha
Muhammad Faizarha

Written by Muhammad Faizarha

1998. Writing about his perspective about the world around him

No responses yet