Tulisan Akhir Minggu #1: Intro, Tebak-Tebakan, dan Bjorka

Muhammad Faizarha
7 min readSep 11, 2022

--

A. Intro

Selamat datang di tulisan akhir minggu. Rencana saya untuk membuat tulisan akhir minggu ini adalah untuk merutinkan aktivitas menulis setiap minggunya. Tulisan akhir minggu ini bakal diisi sama apa aja yang lagi kepikiran di minggu itu, mulai dari opini terhadap isu hangat di minggu itu, kegiatan di minggu itu, atau cuma pemikiran-pemikiran random yang ada di minggu itu. Ga usah terlalu diseriusin, tapi kalau mau diskusi mangga-mangga aja, enjoy

B. Ernest dan Tebak-Tebakan

Pada malam minggu kemarin, salah satu stand-up comedian senior dan salah satu founders dari komunitas Stand Up Indo, Ernest Prakasa, mengetweet terkait pendapat dia terhadap salah satu peserta

Sebenarnya ada lanjutannya karena tweet ini dibuat dalam bentuk thread, jadi apabila ingin tahu silahkan klik aja profil twitternya Koh Ernest. Tapi, inti dari thread tersebut adalah Ernest menganggap bahwa komika yang hanya mengandalkan main tebak-tebakan hanyalah komika yang mau nyari gampang saja, bukan komika yang serius belajar.

Konteks dari tweet ini adalah acara SUCI X Show 3 ketika Gautama, salah satu kontestan dari Jepara menggunakan tebak-tebakan sebagai bitnya. Klipnya bisa dilihat di bawah ini

Bit yang ditulis berisi keresahan Gautama yang hanya mengandalkan tebak-tebakan selama SUCI X sekaligus menggunakan pakem-pakem standar stand up seperti analogi, observasi, topik-topik berat sebagai bahan tertawaannya. Tebak-tebakan receh hanya menjadi ‘cherry on top’ nya dari bit Gautama ini.

Bit ini diapresiasi oleh semua juri, kecuali Ernest. Ernest menganggap Gautama itu sebenarnya brilian tapi pengecut karena hanya berani main aman dengan tebak-tebakan dan menyuruh Gautama untuk mengeksplor dunia stand up sesuai pakem yang ada. Pendapat Ernest ini disanggah oleh juri lain yaitu Radit dan Komeng. Radit menganggap tanggapan Ernest ini salah arah karena bit Gautama ini tidak mengandalkan tebak-tebakan sebagai tulang punggung punchlinenya, tapi tebak-tebakan dikemas oleh Gautama menjadi sebuah bit yang menjelaskan keresahan Gautama terkait materinya yang diisi oleh tebak-tebakan terus. Sedangkan Komeng bilang bahwa banyak seniman yang cukup sukses dengan melanggar pakem-pakem yang sudah ada, seperti dalang Asep Sunandar Sunarya yang melanggar pakem-pakem wayang golek yang ada seperti membuat wayang muntah. Intinya, saat itu pendapat Ernest dimentahkan oleh juri-juri lainnya.

Entah kenapa, mungkin karena masih ga terima dengan pendapat juri lainnya, akhirnya Ernest membawa hal ini ke ranah twitter dan menjadi trending topic pada hari itu. Tanggapan netijen pun beragam mengenai hal ini. Ada yang setuju dengan pendapat dari Ernest, tapi banyak juga yang ga setuju, dan banyak juga yg ngata-ngatain Ernest, mulai dari elitist, Ramon Papana 2.0, sampai yg paling kurangajar adalah Ernest sensi dengan tebak-tebakan karena film Teka Teki Tika kurang laku hahaha.

Kalau dari saya sendiri, saya setuju dengan pendapat Radit. Bit dari Gautama ini ga cuma diisi dengan tebak-tebakan doang, bit ini mengemas tebak-tebakan sebagai keresahan Gautama dalam membuat materi karena di tempat asalnya, materi tebak-tebakan ini aja yang selalu pecah. Selain itu, Gautama juga menjadikan para elitist stand up sebagai bahan tertawaan dengan menjadikan pakem-pakem stand up seperti analogi, topik-topik berat, hingga urutan klasik ‘premis-set up-punchline’ sebagai bahan tertawaan. Tebak-tebakan cuma jadi ‘icing on top’ aja pada bit ini. Tapi entah kenapa Ernest melihatnya sesempit itu dan menganggap bit ini hanya ditopang oleh tebak-tebakan

C. Bjorka dan Data Breach

Dari berita stand up, kita pergi ke topik yang lebih serius yaitu data breach. Minggu ini, netijen dihebohkan oleh seorang hacker anonim bernama Bjorka yang berhasil membocorkan data jutaan penduduk Indonesia di Breach Forums (breached.to). Data ini terdiri dari data-data sensitif seperti NIK, nama lengkap, alamat, nama orang tua, dll. Data ini bocor karena banyak institusi menempatkan data-data ini pada sistem yang tidak aman sehingga sangat mudah diakses oleh orang luar seperti Bjorka ini.

Tanggapan pemerintah terhadap hal ini sebenarnya sangat mengecewakan karena pemerintah bersikap denial dan menyalahkan rakyat dan hacker terhadap kebocoran data ini (sampai keluar ucapan legend dari Menkominfo tersayang, “Hacker stop menyerang!”). Dengan tanggapan pemerintah ini, banyak rakyat yang berang karena pemerintah dianggap tidak serius dalam menyikapi hal ini.

Dari fenomena ini, ada hal menarik yang bisa diobservasi yaitu rakyat tidak menyalahkan hacker atas kebocoran data ini, melainkan hanya menyalahkan kelalaian pemerintah sehingga kebocoran data ini bisa terjadi. Melihat peristiwa ini, Bjorka sepertinya tertarik untuk ‘naik panggung’ dan menciptakan berbagai publicity stunt seperti mengepost data pribadi para politisi, membocorkan database surat BIN, hingga secara blak-blakan menuding Muchdi PR sebagai dalang pembunuhan Munir dan mempublikasikan data pribadinya. Selain melakukan aksi-aksi publicity stunt tersebut, Bjorka juga mulai menciptakan persona di akun twitternya @Bjorkanism (yang sudah disuspend) bahwa dasar dia melakukan aktivitas hacking ini adalah untuk membela kepentingan rakyat Indonesia yang diakibatkan oleh pertemanan dia dengan seorang WNI yang terasingkan di Warsawa akibat tragedi 1965. Persona dan publicity stunt ini pun diterima dan diapresiasi dengan sangat baik oleh rakyat Indonesia. Citra Bjorka yang awalnya hanya dianggap sebagai “for-profit” hacker biasa berubah menjadi aktivis internet yang siap membela kepentingan rakyat Indonesia.

Tanggapan saya terkait ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu dari kualitas data yang disajikan oleh Bjorka, aktivisme yang dilakukan oleh Bjorka, serta tanggapan rakyat Indonesia terhadap Bjorka itu sendiri. Sampai saat ini, Bjorka menyajikan dua jenis data yaitu database rakyat Indonesia, yang dia mainkan packagingnya dengan mempublish data-data orang penting seakan dia selalu punya leak setiap saat, dan database surat top secret dari BIN. Untuk database rakyat Indonesia, jelas data ini sangat berbahaya karena mengandung data-data privat dan bisa disalahgunakan untuk hal-hal kriminal seperti mengajukan pinjaman fiktif hingga pendaftaran untuk organisasi-organisasi tertentu secara ilegal. Secara kualitas, data ini jelas data yang TOP, tapi metode mendapatkannya pun tidak terlalu sulit, karena database ini memang disimpan secara ceroboh oleh institusi-institusi yang ada.

Untuk data yang kedua, yaitu database surat top secret dari BIN, bisa saya bilang kualitas datanya sebenarnya sampah karena bentuknya adalah file CSV yang berisi log semua surat dari Setneg (bukan dari BIN) dan mayoritas isinya adalah surat-surat biasa seperti anggaran snack untuk rapat kabinet, SK Pengangkatan pejabat kementerian, pengumuman gladi bersih upacara 17 Agustus, dan hal-hal trivia lainnya. Semua surat rahasia hanya diberi keterangan ‘surat rahasia dalam amplop tertutup’ sehingga isinya pun kita tidak bisa ketahui, membuat kualitas data ini ga bagus-bagus amat

Kualitas data seperti ini jelas sampah kalau dibandingkan dengan leak tingkat tinggi seperti Wikileaks yang benar-benar mempublikasikan dokumen rahasia secara publik di websitenya, bukan cuma data-data nomor surat trivial saja. Bahkan salah satu artikel yang dibuat oleh Bjorka terkait Munir pun sebenarnya sudah pernah muncul di Wikileaks pada dahulu kala (circa 2010-an).

Setelah membahas kualitas data, sekarang kita membahas tentang aktivisme yang dilakukan oleh Bjorka. Sampai saat ini, aktivisme yang dilakukan oleh Bjorka adalah menciptakan persona pro-rakyat dan mempublish data-data pribadi para pejabat dari database yang dia sudah ambil sebelumnya, hanya dia mainkan packagingnya saja jadi terlihat menarik dan selalu up to date. Menurut saya, hal ini hanya menarik dalam beberapa hari saja karena lama-kelamaan rakyat pun akan bosan dan menganggap Bjorka kurang inovasi dalam melakukan aktivismenya. Selain itu, taktik pembuatan persona yang dilakukan oleh Bjorka serasa kurang natural aja menurut saya. Banyak hal yang terasa dilebih-lebihkan atau ‘too good to be true’ sehingga saya skeptis apakah Bjorka beneran mau jadi aktivis atau cuma nyari panggung saja untuk easy reputation point.

Terakhir adalah tanggapan terkait tanggapan masyarakat untuk Bjorka ini. Menurut saya, tanggapan masyarakat ini cukup menunjukkan bahwa masyarakat kita itu naif sekali. Hanya bermodalkan persona anti-hero yang kebenarannya diragukan plus data-data yang biasa aja, seorang hacker anonim bisa memanipulasi persepsi masyarakat bahwa dia adalah pahlawan dari peristiwa ini, padahal semua juga tau bahwa dia mendapatkan profit dengan menjual data masyarakat ke komunitas underground. ‘Aktivisme’ Bjorka ini berbeda jauh dengan aktivisme sejenis yang dilakukan oleh Wikileaks yang memang benar-benar bergerak secara non-profit

Kalau dirangkum, rencana Bjorka selama ini adalah:

  1. Mencuri data masyarakat dari server pemerintah yang keamanannya sangat rendah
  2. Menjual data-data tersebut untuk keuntungan pribadi
  3. Memanipulasi masyarakat yang naif dengan memainkan sentimen anti-pemerintah mereka menggunakan data yang sudah dijual, membuat Bjorka menjadi seorang pahlawan di mata masyarakat walaupun dia sudah menjual data masyarakat ke komunitas underground untuk keuntungan pribadi

What a diabolical plan

Kalau dirangkum lebih jauh, menurut saya, Bjorka hanyalah seorang low level, for-profit, hacker yang berusaha panjat sosial dengan memanfaatkan sentimen anti-pemerintah agar citranya terlihat sebagai pahlawan. Berbeda jauh dengan aktivis-aktivis internet seperti Julian Assange, Edward Snowden, dan Aaron Swartz yang benar-benar memperjuangkan kebebasan berpendapat dan keterbukaan informasi dari pemerintah ke masyarakat. Aktivis-aktivis tersebut tidak pernah melakukan hal-hal yang merugikan masyarakat seperti menjual data pribadi masyarakat ke komunitas tertentu untuk keuntungan pribadi.

Oiya, saya tidak mendukung pemerintah. Pemerintah jelas salah dalam kebocoran data ini. Tapi saya juga mengkritik rakyat yang terlalu naif dalam mengglorifikasi seorang for-profit hacker sebagai messiah aktivisme perlindungan data di Indonesia.

Sekian tulisan hari ini. Selamat menanti hari Senin!

--

--

Muhammad Faizarha
Muhammad Faizarha

Written by Muhammad Faizarha

1998. Writing about his perspective about the world around him

No responses yet